Monday, July 14, 2008

Auto Pilot Menuju Allah

Ada sebuah tulisan menarik di website eramuslim.com. Pasti semua setuju bahwa ada sebuah pelajaran yg bisa dipetik dari tulisan dibawah ini. Semoga bisa membawa mamfaat untuk semuanya dan bisa diambil hikmah darinya. Amin..

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Seorang kakek berusia delapan puluh tahunan sangat rajin sekali berjamaah di sebuah masjid tua di desa kami. Bahkan dia sering menunggu pintu masjid dibuka. Sangat rajin sekali. Hujan pun tidak membuatnya udhur dari sholat berjamaah. Saya tertarik meng-interview untuk mencari tau “daya dorong apa yang begitu dahsyatnya, sehingga semua halangan bisa dia lalui dan berjamaah dengan istiqomah”.

Setelah ber-dzikir dan berdo’a bersama imam, sang kakek selalu menutupnya dengan sholat ba’diyah. Setelah selesai sholat ba’diyah, saya memberanikan diri untuk menyapanya:

“Assalaamu ‘alaikum Kek, hari ini sepi sekali masjid kita. Satu shaf-pun tidak penuh, pada ke mana ya? Kalo saja jamaah di Subuh ini bisa seperti jamaah ketika Sholat Ied……….”.

Sambil tersenyum Sang Kakek menjawab, “Semulya-mulya amal adalah yang didasari ke-ikhlasan. Amal tanpa ikhlas ibarat debu di atas batu, yang akhirnya hilang disapu hujan. Sang pengamal hanya dapat capek saja. Mungkin saat itu manusia menghargai dia karena kelihatannya taat dan rajin jamaah di masjid. Tapi itu semua tidak ada artinya dimata Allah. Allah tidak menilai sibuknya gerakan tubuh, tapi Allah menilai ikhlasnya hati. Yaitu ibadah yang hanya ditujukan pada-Nya”.

“Apa maksud Kakek yang tidak jamaah di Subuh ini berarti ketika Sholat Ied dia tidak ikhlas karena Allah?

“Bukan totally tidak ikhlas. Tapi mungkin daya dorong jamaahnya yang kurang kuat. Kadang orang yang merasa tidak salah, tidak merasa cukup punya alasan untuk minta maaf. Manusia yang berkecukupan, merasa belum perlu untuk meminta/ meng-hamba. Manusia yang sibuk dengan bisnis/kerjaannya, merasa sanggup “berdiri” tanpa bantuan Sang Khaliq. Singkat kata, orang merasa belum perlu ke dokter kalau tidak sakit. Tapi itu memang tidak terjadi pada semua manusia”.

“Manusia yang bagaimana yang tidak termasuk itu semua Kek?”.
“Manusia yang selalu berusaha memperbaiki diri dan bersyukur karena Alloh. Bukan yang agar dikenal sebagai orang baik di tengah-tengah manusia. Dengan kasih sayang-Nya, Alloh memberikan sistem “auto pilot” pada manusia”

“Apa maksud Kakek dengan “auto pilot” itu?”
“ Yaitu batasan di kanan kiri, dalam perjalanan ke arah pangkuan-Nya. Pada hakikatnya, semua perjalanan manusia adalah untuk menuju ke pangkuan kasih sayang-Nya. Siapapun dia!!!”

“Apa yang Kakek maksud dengan “batasan kanan” dan “batasan kiri” itu?”
“Ini hanya istilah saya saja. Manusia yang taat pada-Nya, pada hakikatnya dia telah berjalan kearah perjalanan yang benar menuju-Nya. Tapi kadang ketaatan ini membuatnya bangga diri dan mencela mereka yang sesat. Lambat laun keihlasannya tercemari dengan virus “riya”, yang pada akhirnya tujuan ibadahnya lebih untuk “pemutihan” dimata manusia. Tentu saja Alloh sama sekali tidak menerima ibadah jenis ini. Lalu dengan kasih sayang-Nya, dibelokkanlah manuver hidupnya ke arah kiri.

Titik “trigger” inilah yang merupakan “batasan kanan”. Singkat kata, “batasan kanan” adalah sifat riya”.

“Apakah ini berarti bahwa “batasan kiri” adalah musibah yang diakibatkan kemaksiatan?”

“Benar!!!”, jawab Sang Kakek sambil tersenyum.
“Apa Kakek dulu pernah mendalami agama?”
“Tidak, kakek belajar agama hanya sebatas belajar sholat, ngaji dan selebihnya cuma dari kutbah Jumat. Ketika kakek pensiun, kakek bingung bagaimana cara cepat bertaubat. Dosa banyak tapi sisa umur tinggal sedikit. Makanya cara cepat yang bisa kakek tempuh hanyalah dengan cara meng-ikhlas-kan semua ibadah karena-Nya. Ikhlas dan istiqomah adalah kata kuncinya”.
Alkhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukanku dengan Kakek tua, dan atas hikmah besar yang kudapat hari ini.

Dari:
Sugito – Batam

Taken from Eramuslim.com

Thursday, July 3, 2008

Sebuah Refleksi

Ada banyak waktu yg dapat kita luangkan sejenak dalam kehidupan sehari-hari untuk sekedar membaca sesuatu yg bermamfaat bagi diri kita dan mungkin bisa kita share kepada orang lain. Saling menasehati dalam kebaikan, kebenaran dan kesabaran serta ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Berlomba-lomba dalam menggapai ridho Allah dari hal yg sederhana seperti salam, senyum ramah dan ikhlas, menjaga tali silahturahmi dan tegur sapa yg ramah atau berkata dengan perkataan yg baik yg mampu menyejukkan hati yg gersang, menghilang dahaga hati akan Iman dan meruntuhkan hati yg keras lagi sombong dengan kalimat-kalimat Allah.

Ada sebuah refleksi yg telah saya baca yg menurut saya bagus dan bisa saya sampaikan kembali kepada orang lain yg masih mau melihat, membaca dan merenungi kalimat-kalimat tausiyah yg saya kutip dari sbuah buku yg berjudul Raudah (Taman Jiwa Kaum Sufi) karya imam Al Ghazali. Sekiranya dapat bermamfaat bagi kita smua, khususnya saya. Dan mudah-mudahan kita smua mampu memahami dan memetik maksud serta makna dari kalimat refleksi dibawah ini.

Refleksi I

Bahwasanya, putusnya hubungan antara makhluk dengan Yang Maha Haq, disebabkan keterpakuan sikap pada makhluk itu sendiri. Dengan sepenuh jiwa, karsa dan upayanya, mereka berpaling dari akidah yg shahih menurut selera hawa dan nafsu yg menyelimuti kemanusian mereka. Kecintaan mereka terhadap pangkat, harta dan dunia, tahta dan popularitas, serta khayalan demi khayalan, kerusakan, kebakhilan, hawa nafsu, ketakjuban diri, keburukan konsumi makanan, minuman dan pakaian.

Mereka tlah rusak dunianya, jiwanya telah digumuli oleh nafsu birahi, sementara mereka tinggalkan mujahadah jiwa demi menuruti nafsunya, agar manusia memandangnya penuh pesona. Mereka memakai pakaian yg dilengketi sifat-sifat tercela seperti sifat-sifat dendam, dengki, bodoh, sombong, riya, munafik dan membangun raga untuk sesuatu selain Allah melalui mata, telinga, lisan, tangan, kaki(padahal smuanya harus dipertanggung jawabkan), sikap malas, bebal, dan alpa serta segala yg menjauhkan diri dari Allah SWT.


Tuesday, July 1, 2008

Berlalulah sudah

tertunduk malu ia menatap Ku
tersadar jika ia bukanlah yang sempurna
dan tersadar kesempurnaan bukanlah miliknya
khilaf telah menutup mata hati
emosi menjadi kendali jiwa
kini ia termenung dan terduduk lesu
mencoba mencari jalan kembali
jalan yang dulu pernah ia lalui
jalan yang penuh kedamaian dan bukan impian
namun semua terkubur mimpi
sudah, berlalulah sudah....